Are you a member? sign in or take a minute to sign up

Cancel
logo

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Negeri Mandailing Natal

Alamat: Jalan Lintas Sumatera KM. 7, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Email: pnmandailingnatal@gmail.com

Pancasila dan Independensi Kekuasaan Kehakiman

Pancasila dan Independensi Kekuasaan Kehakiman

Oleh: Catur Alfath Satriya
Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal

Salah satu aspek yang saat ini masih menjadi perdebatan dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman adalah mengenai makna sesungguhnya dari independensi kekuasaan kehakiman. Kasus penarikan mobil dinas Ketua Pengadilan Negeri Surabaya yang dilakukan oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini secara tidak langsung mengundang pertanyaan apakah hal tersebut merupakan salah satu bentuk intervensi terhadap institusi pengadilan yang dalam hal ini merupakan bagian daripada Kekuasaan Kehakiman. Terlebih lagi, penarikan ini dilakukan oleh Walikota Surabaya sesaat setelah Pemerintah Kota Surabaya kalah dalam perkara wanprestasi dengan PT. Gala Bumi Perkasa yang diperiksa di Pengadilan Negeri Surabaya.[1] Menurut penulis, apa yang dilakukan oleh Walikota Surabaya secara tidak langsung merupakan bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Padahal, jaminan terhadap independensi kekuasaan kehakiman sudah termaktub secara jelas di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam tulisan ini, penulis ingin menjelaskan bagaimana posisi kekuasaan kehakiman secara filosofis berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seharusnya seperti apa independesi kekuasaan kehakiman diatur di dalam sebuah negara.

Pancasila dan dua kata adil di dalamnya     

      Apabila dianalisis secara gramatikal dan semiotikal, ada 2 kata “adil” yang terdapat di dalam sila Pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam sila kedua dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di dalam sila kelima. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa para pendiri bangsa ingin mendirikan suatu bangsa yang mengedepankan nilai-nilai keadilan sebagai nilai yang utama. Namun, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan tidak cukup hanya menjadi sebuah nilai dan konsep yang abstrak. Keadilan harus diwujudkan dalam sebuah institusi-institusi negara dan salah satu institusi negara yang berperan dalam mewujudkan keadilan adalah institusi kekuasaan kehakiman.

Pada prinsipnya, institusi kekuasaan kehakiman lahir dari pemikiran bahwa dalam mengadili masyarakat penguasa tidak boleh berlaku zalim dan harus mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Secara filosofis, kekuasaan kehakiman harus ditempatkan sebagai the guardian of human rights. Prinsip ini menempatkan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan kekuasaannya yang harus dijadikan acuan adalah perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia bukan kepentingan rezim penguasa.

Oleh sebab itu, di dalam kekuasaan kehakiman dikenal Prinsip Bangalore (Bangalore Principal) yang terdiri dari independensi, ketidakberpihakan (imparsial), integritas, kepantasan, sopan santun, kesetaraan, kecakapan, dan keseksamaan.[2] Prinsip-prinsip ini bertujuan agar kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan perannya tidak melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, prinsip Bangalore (Bangalore Principal) diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Dasar 1945

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, penggunaan kata “Kekuasaan” hanya digunakan di dalam BAB III yaitu Kekuasaan Pemerintahan Negara dan BAB IX yaitu Kekuasaan Kehakiman. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang terpisah dari dinamika politik kenegaraan. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang independen yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan apapun. Sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa Kekuasan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Oleh sebab itu, institusi kekuasaan kehakiman menjadi pilar yang penting dalam menjaga eksistensi nilai keadilan di dalam suatu negara. Kekuasaan kehakiman yang koruptif hanya akan membuat nilai keadilan di dalam suatu negara menjadi keropos sehingga masyarakat akan terzalimi oleh perilaku penguasa yang sewenang-wenang. Kekuasaan kehakiman harus menjadi institusi negara yang paling terdepan dalam menjaga keadilan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pancasila di dalam sila kedua dan keempat.

Pancasila sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) memberikan arti bahwa segala hukum yang berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Tidak terkecuali Kekuasaan Kehakiman. Oleh sebab itu, suatu putusan hakim secara filosofis tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan hakim harus mencerminkan nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

Agar nilai-nilai tersebut tercermin dalam putusan hakim, maka kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat wajib apabila ketiga hal tersebut ingin tercapai. Kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman secara teoritis dapat dibagi menjadi 3 yaitu kemandirian dan kemerdekaan dalam hal struktur, fungsi, dan anggaran. Dalam hal struktur, kekuasaan kehakiman harus menjadi institusi negara yang independen dan tidak dapat dintervensi oleh siapapun dan apapun.

Presiden sebagai kepala eksekutif suatu negara tidak berhak mengintervensi institusi kekuasaan kehakiman. Intervensi politik ke dalam institusi kekuasaan kehakiman hanya akan menjadikan salah satu pilar negara menjadi rubuh yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tidak adil dan diskriminatif. Dalam hal fungsi, hakim sebagai garda terdepan suatu institusi kekuasaan kehakiman harus mampu menjadi pribadi yang luhur dan berwibawa. Bijaksana dalam menyelesaikan suatu sengketa dan berperilaku adil bahkan sejak dalam pikirannya. Dalam hal anggaran, negara harus menjamin bahwa anggaran untuk institusi kekuasaan kehakiman selalu tercukupi. Anggaran untuk institusi kekuasaan kehakiman tidak boleh dipotong tanpa sebab yang jelas. Permasalahan anggaran secara tidak langsung bisa mempengaruhi independensi institusi kekuasaan kehakiman. Bahkan, pernah ada hakim yang menggugat undang-undang keuangan negara ke Mahkamah Konstitusi.[3]

Kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sejatinya harus ditegakkan secara komperhensif dan konsekuen. Hal ini penting dan fundamental untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang humanis dan berkeadilan sosial. 


[1]https://regional.kompas.com/read/2017/03/23/18564041/risma.mendadak.tarik.mobil.dinas.ketua.pengadilan.negeri.surabaya

[2] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f23ccb39e887/belum-semua-negara-mengadopsi-ibangalore-principlesi–/#:~:text=Bangalore%20Principles%20berisi%20enam%20prinsip,integritas%20(integrity)%2C%20kepantasan%20dan

[3] https://news.detik.com/berita/d-1634334/tuntut-independensi-anggaran-hakim-gugat-uu-keuangan-negara-ke-mk







diyarbakır escort