Oleh: Catur Alfath Satriya, S.H.
Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal
Institusi pengadilan selalu berada dalam posisi yang problematis dalam sejarah bangsa Indonesia. Di masa kolonial, pengadilan dijadikan alat status quo oleh negara induk yang menghambat pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di zaman orde lama, pengadilan tidak lebih dari “perpanjangan tangan” revolusi ala Soekarno yang menafikan pemisahan dan perimbangan kekuasaan sehingga tidak ada lagi otonomi pengadilan. Di zaman orde baru, pengadilan diberikan independensi namun ternyata independensi yang semu, departemen dijadikan alat oleh eksekutif untuk “mencampuri” urusan yudisial yang berdampak pada putusan yang penuh dengan kontroversi pada saat itu. Permasalahan tersebut menjadi pemicu untuk memasukan agenda reformasi penegakan hukum dan peradilan ketika Indonesia memasuki periode baru reformasi pasca jatuhnya rezim Soeharto.
Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah, diskursus mengenai pengadilan baru mendapatkan proporsi yang tepat setelah Montesquieu menuliskan buku yang dalam bahasa inggris berjudul The Spirit of the laws. Di dalam buku itu Montesquieu mencetuskan doktrin apa yang kita kenal sekarang sebagai trias politica yang merupakan bentuk dari pembagian dan pemisahan kekuasaan. Doktrin trias politica yang dicetuskan oleh Montesquieu berbeda dengan doktrin pembagian dan pemisahan kekuasaan sebelumnya yang dilahirkan oleh John Locke. Montesquieu menjadikan kekuasaan yudisial menjadi kekuasaan tersendiri karena menurut Montesquieu kekuasaan yudisial harus independen dan tidak boleh diintervensi karena apabila diintervensi maka terbuka kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia[1]. Dasar pemikiran Montesquieu inilah yang digunakan sampai saat ini dalam membagi kekuasaan negara. Di setiap negara perlu adanya kekuasaan yudisial yang mandiri dan merdeka untuk menjadi negara yang demokratis. Arsitektur kekuasaan yudisial harus dibangun sedemikian rupa sehingga intervensi dari cabang kekuasaan yang lain tidak bisa dilakukan.
Namun, pada praktiknya menciptakan institusi pengadilan yang mandiri dan merdeka berdasarkan pemikiran Montesquieu bukanlah hal yang mudah. Institusi pengadilan mengalami pasang surut dalam posisi dan perannya di republik ini. Ketika masih berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, pengadilan di Indonesia hanya menjadi alat bagi pemerintah kolonial untuk menghukum usaha-usaha pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia[2]. Ketika Indonesia merdeka, posisi institusi pengadilan tidak menjadi lebih baik. Apalagi ketika Soekarno menjadi presiden, institusi pengadilan menjadi satu bagian dari kekuasaan eksekutif[3] yang mengakibatkan pengadilan tidak bisa tumbuh menjadi institusi yang merdeka dan mandiri.
Angin segar terhadap institusi pengadilan yang merdeka sempat hadir pada zaman orde baru. Ketika itu pada tahun 1970, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Nomor 14 tahun 1970) lahir menggantikan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 19 tahun 1964 (selanjutnya disebut UU Nomor 19 tahun 1964). UU Nomor 19 tahun 1964 perlu direvisi karena secara normatif UU tersebut memberikan kewenangan kepada presiden untuk bisa ikut campur dalam hal yang berkaitan dengan pengadilan. Namun, UU Nomor 14 tahun 1970 ternyata belum sepenuhnya mewujudkan institusi pengadilan yang mandiri dan merdeka. Di dalam Pasal 11 undang-undang tersebut, eksekutif masih bisa ikut “campur tangan” terhadap badan peradilan apabila berkaitan dengan organisasi, administratif, dan finansial[4]. Selain itu, UU Nomor 14 tahun 1970 tidak sesuai dengan aspirasi hakim pada saat itu yang menuntut adanya kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang.[5]
Di dalam perjalanannya, intervensi eksekutif terhadap pengadilan masih belum berhenti. Departemen Kehakiman dijadikan alat oleh eksekutif untuk melakukan intervensi terhadap suatu perkara. Bahkan intervensi tidak hanya dilakukan oleh Departemen Kehakiman namun juga oleh Mahkamah Agung yang mengintervensi pengadilan di bawahnya (intervensi internal)[6]. Intervensi ini dapat dilihat di dalam perkara Haris Murtopo [7] yang melibatkan Jenderal Ali Murtopo dan perkara Jasin [8]. Intervensi ini membuat semakin jelas bahwa rezim orde baru tidak memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi pengadilan.
Intervensi yang terjadi terhadap pengadilan pada khususnya dan kekuasaan kehakiman pada umumnya secara tidak langsung membuat institusi pengadilan semakin jauh dari cita-citanya. Semakin seringnya intervensi, maka sudah bisa dipastikan praktik korupsi akan sering terjadi. Di zaman orde baru intervensi kepada pengadilan dilakukan dengan kekuasaan atau uang. Intervensi kekuasaan terlihat pada waktu itu dalam perkara Kedung Ombo[9]. Intervensi kekuasaan biasanya dilakukan oleh para politisi maupun pejabat yang kepentingannya terganggu terhadap perkara tersebut. Selanjutnya, intervensi uang yang biasanya dilakukan oleh pihak yang berperkara. Salah satu kasus yang menarik yang berhubungan dengan intervensi uang adalah kasus Gandhi Memorial School[10]. Dari kasus Gandhi Memorial School inilah akhirnya inisiatif untuk melahirkan lembaga eksternal yang mengawasi hakim dan pengadilan muncul yaitu Komisi Yudisial. Kasus Gandhi Memorial School merupakan kasus yang memperlihatkan secara jelas bobroknya institusi pengadilan bahkan Mahkamah Agung pada waktu itu.
Di tengah turbulensi politik terkait dengan masa depan pengadilan di Indonesia muncul satu sosok hakim agung yang berintegritas dan pemberani dalam memerangi korupsi di tubuh Mahkamah Agung yaitu Adi Andojo Soetjipto.
Keberanian dan Integritas
Adi Andojo Soetjipto lahir pada tanggal 11 April 1932 di Yogyakarta. Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang dekat dengan dunia pengadilan, Adi Andojo Soetjipto terinspirasi dengan ayahnya yang pada waktu itu menjadi hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Lampung pada tahun 1956. Ketika itu, ayah Adi Andojo Soetjipto sedang memeriksa suatu perkara dan pengacara yang mendampingi terdakwa mendekati sang ayah kemudian menawarkan sebuah oplet yang akhirnya ditolak mentah-mentah oleh sang ayah. Apa yang dilakukan oleh sang ayah kemudian ditiru oleh Adi Andojo Soetjipto ketika menjadi hakim pertama di Pengadilan Negeri Madiun pada tahun 1960. Ketika itu Adi Andojo Soetjipto menolak pemberian jam tangan Omega dan kain wol yang diberikan oleh terdakwa dengan tujuan agar terdakwa dibebaskan. Penolakan tersebut akhirnya membuat terdakwa marah dan keluar dari pengadilan dengan meludah ke tanah.[11]
Keberanian dan integritas Adi Andojo semakin terlihat ketika beliau akhirnya diangkat sebagai hakim agung pada tahun 1980. Setidaknya ada dua perkara yang memperlihatkan kepribadian dari seorang Adi Andojo Soetjipto yaitu perkara Muchtar Pakpahan dan perkara Gandhi Memorial School.
Perkara Mochtar Pakpahan: Pengakuan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Perkara Mochtar Pakpahan dimulai dari peristiwa pemogokan besar pada tahun 1994 pada bulan April di Medan yang didalangi oleh Mochtar Pakpahan. Mochtar Pakpahan adalah seorang aktivis buruh Indonesia yang disegani dan diakui oleh dunia internasional. Dalam perjalanan hidupnya, ia berhasil membentuk sebuah serikat buruh independen yang diakui oleh International Labour Organization (ILO) yang bernama Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Serikat buruh yang didirikan oleh Mochtar Pakpahan merupakan anti tesis dari serikat buruh yang ada pada saat itu yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). SPSI dianggap oleh Mochtar Pakpahan secara politis sudah dikooptasi oleh pemerintah.[12]
Terhadap pemogokan tersebut, Mochtar Pakpahan akhirnya didakwa dengan delik penghasutan dan divonis dengan hukuman penjara selama 3 (tiga) tahun di pengadilan negeri. Kemudian, di pengadilan tinggi putusan pengadilan negeri dikuatkan serta hukumannya diperpanjang menjadi 4 (empat) tahun. Mochtar Pakpahan tidak menyerah sebagai mantan advokat kemudian ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di Mahkamah Agung keberuntungan berpihak ke Mochtar Pakpahan, Majelis Hakim yang diketuai oleh Adi Andojo Soetjipto akhirnya membebaskan beliau dengan alasan yang menurut penulis sangat progresif pada saat itu. Melalui putusannya Adi Andojo berpendapat bahwa penafsiran mengenai kata “penghasutan” harus disesuaikan dengan konteks zamannya. Kehidupan bangsa yang semakin terdemokratisasi harus dilihat sebagai bentuk semangat zaman (zeitgeist) yang membuat penafsiran terhadap kata “penghasutan” harus sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Oleh sebab itu, kriminalisasi terhadap Mochtar Pakpahan tidak dapat dibenarkan karena penafsiran yang digunakan merupakan penafsiran kolonial yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman pada saat itu.[13]
Putusan tersebut diucapkan pada tanggal 27 September 1995 dan menurut penulis merupakan salah satu putusan yang membuka arah perjalanan negara ini menuju negara demokratis yang menghargai hak asasi manusia. Putusan ini membuktikan bahwa Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi bisa menjadi garda terdepan dalam melindungi hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia yang pada zaman orde baru tidak begitu dihargai namun ternyata masih ada hakim yang berani untuk berbeda prinsip dengan penguasa pada waktu itu. Keberanian dan integritas Adi Andojo Soetjipto untuk melawan arus tidak hanya di perkara ini saja. Salah satu yang membuat namanya semakin berkibar adalah ketika dia menjadi whistleblower di Mahkamah Agung terkait dengan kasus korupsi perkara Gandhi Memorial School.
Perkara Gandhi Memorial School: Terbukanya Korupsi di Mahkamah Agung
Perkara Gandhi Memorial School bisa dikatakan salah satu perkara yang menarik perhatian publik saat itu. Perkara ini diawali ketika terjadi pergantian pengurus Yayasan Gandhi Memorial pada tanggal 25 Mei 1981. Ram Gulumal sebagai pimpinan yayasan mengubah struktur yayasan yang ternyata dipersoalkan secara hukum. Ram Gulumal pada saat itu didakwa dengan pasal berlapis dan ketika diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Ram Gulumal dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman selama 1 tahun penjara. Ram Gulumal lalu mengajukan banding dan di Pengadilan Tinggi Jakarta putusan tersebut diperbaiki. Ram Gulumal hanya dianggap sebagai orang yang menyuruh melakukan pemalsuan akta otentik secara berlanjut dan hukumannya dikurangi menjadi 8 bulan penjara. Ram Gulumal kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di Mahkamah Agung lah “permainan” perkara tersebut terjadi. Penasihat hukum Ram Gulumal ternyata bekas hakim agung dan ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).[14]
Ada indikasi Penasihat Hukum Ram Gulumal “mengatur” perkara tersebut agar putusannya menguntungkan Terdakwa. Benar saja, hasil dari putusan kasasi yaitu Terdakwa dibebaskan. Aroma kolusi pun akhirnya tercium ketika perkara ini diputuskan dalam waktu yang relatif cepat yaitu hanya 132 hari. Adi Andojo Soetjipto yang merupakan Ketua Kamar Pidana melihat permasalahan ini dan akhirnya menulis memo rahasia kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Namun, tanpa disangka memo rahasia tersebut bocor ke media sehingga kasus tersebut akhirnya menjadi perhatian publik. Bocornya memo rahasia tersebut membuat Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu Soerjono panik. Bukannya menjadikan momentum ini sebagai perbaikan institusi, Soerjono malah menyerang balik Adi Andojo Soetjipto dan membuat rekomendasi pemecatan dengan tidak hormat kepada Presiden Soeharto.[15]
Momentum ini sekaligus menjadikan Adi Andojo Soetjipto menjadi simbol pemberantasan korupsi pada waktu itu. Sebagai hakim yang terkenal dengan reputasi tidak tercela selama 30 tahun, daya tawar Adi Andojo Soetjipto dalam perkara ini sangat tinggi dibandingkan Ketua Mahkamah Agung Soerjono di mata publik. Adi Andojo Soetjipto mampu menjadi teladan seorang hakim dan pejabat negara yang bersih dengan karakter yang kuat dan lugas. Perlawanan yang dilakukan oleh Adi Andojo Soetjipto dalam membongkar korupsi, kolusi, dan nepotisme di Mahkamah Agung membuat dirinya akhirnya dipercaya oleh Presiden Abdurrahman wahid sebagai ketua Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) di kemudian hari.[16]
Kemanusiaan, Demokrasi, dan Anti-Korupsi
Perjuangan Adi Andojo Soetjipto dalam menggaungkan semangat anti-korupsi dan melawan korupsi bahkan di internal lembaga sendiri membuka mata dan hati penulis bahwa masih ada harapan untuk negeri ini menjadi negeri yang bersih bebas dari cengkraman korupsi. Dalam gelapnya korupsi di republik ini, Adi Andojo Soetjipto muncul sebagai sosok pembawa pelita harapan. Beliau mengajarkan kita bahwa integritas dan keberanian adalah modal utama dalam memerangi korupsi yang telah menggurita di republik ini. Tidak peduli siapa yang dilawan, bagi beliau institusi pengadilan yang bersih adalah awal dari negara yang bersih. Pendapat beliau di dalam putusan perkara Mochtar Pakpahan dan keterlibatan beliau untuk membongkar kasus korupsi dalam perkara Gandhi Memorial School adalah bentuk perjuangan beliau dalam membela demokrasi dan memerangi korupsi di republik ini. Beliau memperlihatkan kepada kita bahwa nilai-nilai Pancasila bukan hanya sekedar diucapkan dan dijargonkan namun dihidupkan melalui implementasi nyata dalam tugas dan kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang hakim agung, beliau menjadikan dirinya lebih agung daripada jabatannya. Beliau mampu menjadi teladan yang menginspirasi para hakim muda untuk tetap setia dengan nilai hidup integritas dan keberanian karena dengan integritas dan keberanian seorang hakim nantinya bisa menjadi hakim yang berkualitas.
Sebagai penutup dalam esai ini, penulis ingin menulis sebuah kutipan:
“Barangsiapa yang berjuang untuk demokrasi dan anti korupsi, maka ia sedang berjuang bagi kemanusiaan”
Daftar Pustaka
Buku:
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012
Pompe, Sebastian. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012
Tanya, Bernard L. dkk. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Artikel Online:
Saputra, Andi. Akhir Kolusi Vonis Kasasi yang Dibongkar Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3484107/akhir-kolusi-vonis-kasasi-yang-dibongkar-ketua-muda-ma-adi-andojo pada tanggal 26 Juli 2021.
Saputra, Andi. Tahun 1956 Sudah Ada yang Mencoba Nyogok Hakim dengan Mobil, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3450705/tahun-1956-sudah-ada-yang-mencoba-nyogok-hakim-dengan-mobil pada tanggal 25 Juli 2021.
Lepas dari Dakwaan Menghasut Karena Perubahan Zaman (31 Desember 2014), diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54a40d5629cfc/lepas-dari-dakwaan-menghasut-karena-perubahan-zaman pada tanggal 26 Juli 2021
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. (16 Maret 2019), diakses dari http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/prof-dr-wirjono-prodjodikoro—s–h-tokoh?lang=id pada tanggal 23 Juli 2021
Adi Andojo: Kasus Hakim Agung Suap Bukan Dendam (29 Agustus 2000), diakses dari https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol466/adi-andojo-kasus-hakim-agung-suap-bukan-dendam pada tanggal 26 Juli 2021
[1]John Locke membagi kekuasaan negara menjadi 3 yaitu: (i) kekuasaan legislatif, (ii) kekuasaan eksekutif, dan (iii) kekuasaan federatif. John Locke menggunakan paradigma hubungan ke luar dan ke dalam suatu negara sehingga memisahkan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan federatif. Menurut John Locke, fungsi yudisial masuk ke dalam kekuasaan eksekutif. Sementara itu, Montesquieu membagi kekuasaan berdasarkan pendekatan hak asasi manusia setiap warga negara. Menurut Montesquieu, kekuasaan federatif tidak perlu dipisah tersendiri karena sudah termasuk dalam kekuasaan eksekutif. Oleh sebab itu, Montesquieu membagi kekuasaan negara menjadi 3 yaitu: (i) kekuasaan legislatif, (ii) kekuasaan eksekutif, dan (iii) kekuasaan yudisial. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2012), hal. 283.
[2] Dalam perjalanannya, elite tradisional jawa banyak yang menjadi hakim di Indonesia pada zaman kolonial Belanda dan mempunyai hubungan yang tidak baik dengan para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Perihal ini bisa dilihat ketika Kusuma atmadja yang pada waktu itu sebagai hakim mengadili salah seorang kaum revolusioner yang mendukung Soekarno. Beliau berkata:
“….bahwa sesungguhnya sangat mungkin mewujudkan “Indonesia Merdeka” lewat cara-cara yang legal, yang oleh karena itu tidak menimbulkan gangguan terhadap ketertiban umum atau penggulingan otoritas pemerintah di Belanda dan Hindia Belanda. Bahwa untuk mewujudkan “Indonesia Merdeka” dimaklumi akan disertai perubahan pemerintahan, yang bagaimanapun juga tidak perlu menempuh cara-cara kekerasan dan illegal. Bahwa sebuah “Indonesia” merdeka sangat bisa dibayangkan dengan organisasi negara yang sama seperti Dominion Inggris misalnya atau bahkan masyarakat hukum yang tidak begitu merdeka di Imperium Belanda…”
Terkait dengan perkataan ini bisa dilihat di dalam buku Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), hal. 66-67.
[3] Ketika Soekarno menjadi Presiden, Wirjono Prodjodikoro yang merupakan Ketua Mahkamah Agung pada saat itu juga diangkat sebagai Menteri Koordinator untuk Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri dalam Kabinet Dwikora I dan Menteri Kehakiman dalam Kabinet Dwikora II. Lihat http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/prof-dr-wirjono-prodjodikoro—s–h-tokoh?lang=id (16 Maret 2019) diakses pada tanggal 23 Juli 2021
[4] Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa hal yang berkaitan dengan organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
[5] Sebastian Pompe, op.cit., hal.136-137. Dalam praktiknya, judicial review pernah dilakukan oleh Hakim Asikin Kusumaatmadja namun UU Nomor 14 tahun 1970 membatasi kewenangan judicial review yang dilakukan oleh hakim pada saat itu. Salah satu putusan yang didalam pertimbangannya terdapat konsep judicial review yaitu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 25/1967 pada tanggal 15 Maret 1967. Salah dua pertimbangan yang terdapat dalam putusan tersebut menurut Sudargo Gautama merupakan tonggak awal judicial review di Indonesia. Berikut pertimbangan tersebut:
- bahwa hakim sebagai anggota peradilan yang bebas dari pemerintah mempunyai kewajiban memberi putusan mengikat atas pertanyaan apakah suatu undang-undang bertentangan atau sejalan dengan hukum yang berlaku. Sebagai akibatnya, terlebih dahulu harus ditentukan apakah undang-undang terkait itu masih berlaku atau tidak;
- bahwa ini berarti hakim harus meninjau apakah undang-undang terkait bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945;
[6] Sebastian Pompe, op.cit., hal. 183-187
[7] Secara garis besar perkara ini merupakan perkara yang melibatkan anak dari Jenderal Ali Murtopo pada tahun 1977. Anak dari Jenderal Ali Murtopo yaitu Haris Murtopo menembak dan membunuh teman sekolahnya dalam pertengkaran soal parkir mobil. Hakim membebaskan Haris dengan alasan pembelaan diri dan menerima dalih bahwa pistol yang dipakai dalam perkelahian adalah milik supirnya. Beredar kabar bahwa terkait dengan perkara tersebut majelis hakim ditekan untuk membebaskan Haris. Perihal ini dikuatkan dengan sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menerima putusan bebas tersebut. Bahkan, Ketua Mahkamah Agung pada saat itu Seno Adji memanggil majelis hakim perkara tersebut dan langsung mendikte putusan yang digunakan untuk membebaskan Haris Murtopo. Lihat Sebastian Pompe, op.cit., hal. 186-187.
[8] Pada tahun 1979, M. Jasin seorang pensiunan jenderal merasa resah dengan korupsi yang rezim lakukan yang akhirnya mengirimkan surat kepada DPR yang isinya secara garis besar menuduh pemerintah dan Presiden Soeharto sebagai orang yang munafik. Pemerintah pada waktu mengambil langkah untuk mengadili M. Jasin secepatnya karena apa yang dilakukannya adalah penghinaan terhadap Kepala Negara. Mudjono sebagai Menteri Kehakiman memanggil hakim yang memeriksa perkara tersebut untuk menghukum M. Jasin. Lihat Sebastian Pompe, op.cit., hal. 188-189.
[9]Ibid., hal. 217-220. Perkara Kedung Ombo diawali dari sebuah proyek pembangunan PLTA di suatu lembah di daerah Jawa Tengah. Beberapa petani yang diwakili oleh LBH tidak setuju dengan tawaran pemerintah yang hanya mengganti kerugian Rp 800 per meter persegi. Para petani tersebut menuntut ganti rugi Rp 10.000 per meter per segi. Di tingkat pertama dan di tingkat banding para petani tersebut kalah namun ketika kasasi para petani tersebut menang. Setelah itu, tekanan datang dari pemerintah kepada Mahkamah Agung. Presiden Soeharto memanggi Purwoto Ketua Mahkamah Agung pada saat itu ke istana dan berpesan agar Mahkamah Agung memutus dengan “adil” dalam peninjauan kembali. Hasilnya jelas, putusan peninjauan kembali membatalkan putusan kasasi.
[10] Ibid., hal. 232-236
[11] Andi Saputra, Tahun 1956 Sudah Ada yang Mencoba Nyogok Hakim dengan Mobil, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3450705/tahun-1956-sudah-ada-yang-mencoba-nyogok-hakim-dengan-mobil pada tanggal 25 Juli 2021
[12]Sebastian Pompe, op.cit., hal. 238-239
[13]Lepas dari Dakwaan Menghasut Karena Perubahan Zaman (31 Desember 2014), diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54a40d5629cfc/lepas-dari-dakwaan-menghasut-karena-perubahan-zaman pada tanggal 26 Juli 2021. Di dalam pertimbangannya, menurut penulis Majelis Hakim Kasasi menggunakan teori Carl von Savigny bahwa hukum harus sesuai dengan perkembangan jiwa rakyat (volkgeist). Lihat Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2013), hal. 94-97
[14]Andi Saputra, Akhir Kolusi Vonis Kasasi yang Dibongkar Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3484107/akhir-kolusi-vonis-kasasi-yang-dibongkar-ketua-muda-ma-adi-andojo pada tanggal 26 Juli 2021
[15]Sebastian Pompe, op.cit., hal. 233-235
[16]Adi Andojo: Kasus Hakim Agung Suap Bukan Dendam (29 Agustus 2000) diakses dari https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol466/adi-andojo-kasus-hakim-agung-suap-bukan-dendam pada tanggal 26 Juli 2021